Tolong Beri Tahu Aku ID Line mu!
Thanks buat orang yang sudah upload gambar ini!
Banyak
orang yang mengkritik Jakarta macet dan panas namun hal itu tidak berlaku
bagiku yang tinggal di pinggiran kota Jakarta yang berbatasan langsung dengan
Kab. Bogor. Bagiku, Jakarta adalah kota yang sejuk dan dipenuhi oleh pepohonan
buah yang rindang mulai dari rambutan, pisang, jengkol, dan pete. Tidak hanya
itu, pemancingan ikan yang menghiasi lembah kami menyuplai kesejukkan hingga
pagi pun menjadi sangat menyegarkan. Ditambah dengan suasana guguran daun pete
yang menguning daunnya, rasa-rasanya aku bukan berada di Indonesia melainkan
seperti berada di negara Jepang saat bunga sakura berguguran.
Suasana
pagi yang indah itu merupakan suasana hari pertama sekolah, murid-murid datang
sejak pukul enam pagi waktu Indonesia barat. Kami semua bergerombol melihat
papan pengumuan penempatan kelas untuk setahun ke depan. Aku sangat
menantikannya terlebih tahun ini merupakan tahun terakhirku berada di sekolah
ini. Aku yang merupakan anggota klub basket menginginkan kedua sahabatku di
klub ini berda satu kelas denganku sama seperti saat aku berada di kelas tujuh
dan kelas delapan.
Aku
dan kedua sahabatku mencari-cari nama kami di papan pengumuman penempatan
kelas. Aku yang belum menemukan namaku di kelas sembilan satu. Hingga akhirnya
aku terkejut dengan suara yang dihasilkan temanku yang bernama Fera. Fera berkata
sambil menggoyangkan badanku, “ Hei Luna, Lihatlah! Aku berada di kelas
sembilan empat.”
“Aku
juga sudah menemukan namaku sendiri, aku berada di kelas sembilan dua. Sayang
sekali Fer kita tak bisa sekelas,” ucap Ifa sambil menepuk pundakku.
Aku
terguncang mendengar sahabatku yang sudah dua tahun bersama terpisah oleh
kebijakan sekolah. Aku harap bisa berada diantara kelas sembilan dua bersama
dengan Ifa atau sembilan empat bersama
Fera. Namun sayang takdir berkata lain, layaknya petir di pagi hari. aku
melihat namaku berada pada kelas sembilan tiga. Kemudian aku berkata, “ Ah itu
namaku! Namun sayang, aku berada di kelas yang berbeda dengan kalian. Sayang
sekali”
“Ya,
sayang sekali,” ucap mereka berdua.
“Di
kelasku juga, tak ada anak basket putri. Rasanya aku akan kesepian,” ucap ku
dengan rasa kecewa.
“Luna
tak usah disesali, mungkin ini memang takdir,” ucap optimis dari fera sambil
menepuk pundakku.
“Ya
tidak perlu dirisaukan, boleh jadi kita ‘kan bertemu jodoh kita,” canda Ifa.
“Hei,
hei, hei jangan bicara jangan bicara jodoh! Apa kau siap dengan persiapan
gebyar ekskul. Jangan lupa, kita
persiapan gebyar ekskul fa!” Ucap Fera.
Akhirnya,
Fera dan Ifa bercakap mengenai gebyar ekskul. Aku hanya melihat dan
mendengarkan percakapan mereka.
Aku
yang fokus mendengarkan percakapan mereka teralih oleh seseorang yang sudah
lama aku suka sejak kelas delapan keluar dari gerombolan manusia yang ingin
tahu dimana kelas mereka ditempatkan. Dia bernama Asra, pria pendiam yang
memiliki hobi membaca dan menari topeng cirebon. Pria itu membuatku tersipu
malu dan tanpa sadar dari kejauhan aku melihatnya seolaholah dia adalah
pangeran yanga sedang bercanda dengan teman-temannya ditengah diamnya itu.
Sungguh indah wajahnya dan prilakunya.
Tanpa
sadar, aku keluar dari percakapan mereka berdua. Hingga ketika aku dimintai
opini oleh mereka berdua, aku tidak folus menjawab. Kemudian si Ifa
mengagetkanku dan berkata, ”Ayoloh, jangan bengong neng!”
“
Cie, Cie, cie, lagi memandang siapa tuh sampe gk fokus ditanyain seputar gebyar
ekskul?” Goda Fera yang bertanya dengan genit.
“Bukan
apa-apa kok! Sumpah!”
“Yang
bener gak ada apa-apa, lagi jatuh cinta ya?” goda Ifa.
“Beneran
gak ada apa-apa, Cuma kurang air jadinya bengong”
“Kurang
air, jatuh cinta kali? Hahahahah!” canda Fera.
“au
deh!” kesal Luna.
“Iya
iya, kami bercanda,” ucap Fera.
“Jangan
marah atuh!” kata Ifa.
“Oke
aku gk marah, tp beliin mineral ion ya pas latihan sore nanti.”
“Yeeeeeeeeeeee!”
ucap Ifa dan Fera sambil mendorong Luna.
Kami
pun bercanda dan kami pun menuju kelas masing masing untuk melakukan upacara
pertama hari sekolah.
Namun
jujur saja, di hari pertama ini aku gelisah. Siapa yang bisa aku ajak bicara.
Terlebih dalam duathaun belakang, aku lebih banyak bergaul dengan teman basket
putri. Hatiku sangat tidak tenang, sampai-sampai aku lihat ke kanan dan ke kiri
teman-teman sekelasku di acara pembukaan yang diketui oleh kepala sekolah.
Tidak ada orang yang bisa aku ajak bercanda atau mengobrol hanya sekedar
berbisik pun tidak ada.
Upacara
pun selesai hatiku menjadi gugup sejadi-jadinya. Karena gugup, aku pergi ke
toilet sendiri. Aku meremas squishy berbentuk cumi-cumi untuk menghilangkan
keteganganku. Sambil meremas squishy, aku pun memotivasi diriku sendiri agar
bisa tenang. Sebenarnya aku mengatakan dalam hati namun entah karena apa
suaraku keluar dan berkata, “ Aku benar-benar gugup, sungguh benar-benar gugup.
Tetap tenang! Tetap tenang! Oke!”
Akhirnya,
aku sudah merasakan rasa yang tenang dan bersiap masuk kek kelas dimana tak ada
teman yang cukup akrab dengan diriku.
Aku
berjalan dengan terburu buru karena takut guru wali kelas ku datang lebih dulu.
Aku yang setengah berlari dengan hati yang setengah tenang, siap menjalani
aktivitas sekolah seperti biasa.
Namun
ketika ku masuk ke dalam ruang kelas ketegangan itu mulai terasa. Pria itu,
pria yang bernama Asra berada satu kelas denganku. aku hanya bisa mematung di
pintu ruangan kelas. Rasanya perasaanku semakin kacau. Sama kacaunya dengan
lagu kufaku band yang sering diputar oleh akun sosial media. Terlebih ketika ia
melihatku di pintu ruangan kelas aku bergegas masuk menghindari pandangannya
padaku. Aku ingin sekali mengobrol dengannya namun karena rasa malu aku hanya
membuang waja dan masuk dengan rasa cemas.
Aku
yang panik melihat sekelilingku, panik bukan main perasaan ini terasa campur
aduk layaknya permen legendaris gado-gado. Perasaanku ada rasa malu, rasa
senang, rasa sedih, rasa gelisah, dan perasaan lainnya. Terlebih dia berada di
kelasku menjadi penunjang rasa maluku semakin meninggi. Apa ini yang disebut
kebetulan, takdir, dan cinta?
Ah!
Tidak peduli dengan itu, aku harus mencari teman ngobrol. Mungkin Asra yang
bersama dengan kedu temannya bisa menjadi teman mengobrolku.
Hingga
akhirnya seseorang wanita menyapaku dari belakang dan berkata, “ Ahh Luna! Kau
di kelas ini juga!”
Aku
pun menoleh ke belakang dan ternyata dia adalah Aini teman satu kelompok
belajar sewaktu kelas delapan.”
“Hei
Aini, kau di kelas ini juga?” kejutku melihat Aini berada satukelas denganku.
“Hmm,
akhirnya kita satu kelas lagi. Senang rasanya berjumpa denganmu disini. Kali
ini teman-teman basketmu tidak berada dalam satu kelas ya?” tanya Aini sambil
tersenyum.
“Tidak,”
jawabku.
“Pasti
sedih ya?”
“Tentu
saja!” balasku.
Akhirnya
kami mengobrol dan bercanda bersama, aku dan Aini juga memutuskan untuk duduk
satu meja di kelas kami hingga kami lulus. Kami pun akhirnya bercanda dan
tertawa bersama hingga guru wali kelas kami datang dan dimulailah pelajaran
sekolah di hari pertama sekolah.
Sepulang
sekolah, kami semua akan melakukan kegiatan ekstrakulikuler baik itu dibidang
olahraga, agama, budaya, bahkan sampai ke penelitian. Kami bebas memilih
kegiatan tersebut. Waktu sekolah kami hanya sampai jam sebelas sehingga kami
melakukan kegiatan tersebut. Sungguh menyenangkan, sekolah kami sungguh sangat
menyenangkan.
Aku
dan kawan-kawanku melakukan kegiatan basket di dalam hall yang tebagi khusus
untuk kegiatan olahraga seperti Voli, Bulu tangkis, dan beberapa olahraga
ruangan lainnya. Kami berlatih untuk mendapatkan piala presiden khusus untuk
anak SMA di seluruh penjuru negeri.
Aku
memiliki posisi sebagai point guard dan
juga kapten basket perempuan membuatku dekat dengan teman temanku. Aku adalah
sang pengumpan bola kepada teman-temanku. Tak akan kuserahkan teman-temanku
tidak memiliki kesempatan mencetak angka.
“Luna,
umpan ke aku! Kita cetak tiga angka!” ucap Fera sambil berlari berharap aku
mengumpan kepadanya.
Namun
sayang, dia sedang dijaga oleh dewa penjaga temanku yang bernama Rina.
Waktu
hampir habis, aku sudah kehilangan akal. Lantas aku berharap pada Ifa. Seorang
pemain yang lihai mencari celah kosong dan mencetak angka dari jarak manapun.
Seorang small foward. Tanpa pikir panjang, aku mengumpan kepada Ifa. Benar
saja, Ifa langsung mengambil umpanku dan dengan insting permainan yang cukup
kuat dia melempar di area tiga angka. Kemudian, Ifa mencetaknya dan peluit
pertandingan latihan pun berbunyi. Kamilah pemenang dengan selisih tiga angka.
Pertahanan dari Rinalah dan serangan dari Yulia yang membuat kami hampir kalah.
Aku
pun yang kelelahan karena menghadapi Rina dan Yulia langsung memuji dirinya.
Kemudian aku berkata, “Permainan yang bagus Rina dan Yulia! Ku harap tahun
depan kau akan membimbing teman-temanmu ke tangga juara. Hahahah.”
“Ya,
karena Rina. Aku tak bisa mencetak angka,” ucap Fera.
”Yulia
permainan menyerangnya itu lho aku harus serius memutar otak,” ujar aku sambil
minum air. Kemudian aku berkata kembali, “Ahhh! Jika Ifa tak ada di timku yang
berisi anak kelas tiga, aku pasti sudah kalah. Namun permainan kalian berdua
meningkat pesat, aku yakin dengan beberapa anggota kelas satu kita bisa juara.
Hehehehe!”
“Ngomong-ngomong
anak kelas satu, bukankah ketua basket kita memiliki tugas dari para guru dan
ketua Osis, benar bukan Luna,” ucap pelatih basket puteri yang bernama bu
Risky. Dia adalah guru olahraga di sekolah kami.
“Apa
iya bu? Aku sendiri lupa. Heheheheh!”
“Cepat
bantu anggota OSIS kau ada rapat lima belas menit lagi! Ku harap kau tidak
telat, terlebih kita mendapat kehormatan di festival olahraga tujuh belas
agustus mendatang. Aku ingat kau hmpp...!” ucap bu Risky yang terhenti karena
pelukanku.
Kemudian
aku berkata sambil memeluk gurunya, ”Hahahahah, baik bu aku tidak telat namun
aku mohon ibu tidak berkata di sini.”
Akhirnya,
aku berangkat ke ruang OSIS untuk rapat mengenai gebyar ekstrakulikuler dan
persiapan festival olahraga untuk merayakan hari kemerdekaan RI. Aku yang
terburu berlari tanpa memedulikan seseorang diahadapanku. Hingga akhirnya, aku
menabrak seorang lelaki yang baru saja keluar dari ruang perpustakaan. Pria itu
pasti dari klub literatur. Aku dan dia terjatuh dengan keadaan aku menimpa
tubuhnya.
Aku
tidak sadar dan terasa gelap. Ketika pengelihatanku kembali normal, aku malu
semalu-malunya. Aku sangat malu karena yang ku tabrak dan aku tindih dia adalah
Asra. Pria yang telah merebut hatiku tanpa perlu mengatakan cinta, aku sangat
malu dengan dirinya dan mungkin aku ingin bunuh diri saja.
Aku
bangun dan berkata, “Maafkan aku Asra! Aku minta maaf!”
“Ahh,
tidak apa-apa. Mungkin lain kali kau seharusnya tidak berlari seperti itu!”
Kata Asra yang terhenti karena wajahnya yang memeremah dan berusaha
menyembunyikannya. Kemudian kembali berkata, “Kau sebaiknya berhat-hati tidak
banyak lelaki yang baik.”
Setelah
berkata demikian, Asra langsung saja berjalan cepat. Aku tak tahu apa maksud
darinya mungkin dia marah kepadaku karena menabraknya. Namun arah jalan kami
sama, aku yakin dia mau ke ruangan OSIS. Jika bertmu dengannya, aku ingin
meminta maaf kepadanya.
Aku
pun berjalan dengan lebih hati-hati dan berjalan ke ruangan OSIS. Aku baru tahu
dia adalah anggota klub literatur. Aku harap bertemu dengannya kembali, meminta
maaf, dan aku harap dia memberikan ID Line agar kita bisa kembali bertemu.
Ketika
masuk ke ruangan ternyata benar, Asra merupakan ketua klub yang wajib ikut
dalam penyelenggaraan gebyar ekstrakulikuler dan festival olahraga. Wajahku
memerah melihat dia, aku sangat berharap dia tidak melihatku dengan wajah
memerah ini sehigga aku mengambil jarak yang cuup jauh. Sungguh, sungguh,
sungguh malu aku melihat dia.
Ketua
OSIS pun berdiri di mejanya kemudian dia berkata, “Sudah berkumpul semua? Aku
harap sudah dan tak ada yang datang terlmbat lagi. Baik kita mulai acara rapat
mengenai acara gebyar ekstrakulikuler dan festival olahraga. Saya, Rama Wijaya
selaku ketua Osis membuka rapat kali ini. Lihatlah selembaran yang telah
dibagikan! Itu adalah jobdesk untuk
klub kalian. Sekarang kita berkumpul di bidang masing-masing dan rapat bersama
ketua kalian yang tertulis di selembaran itu! Terima kasih!”
Setelah
mendengarkan kata-kata dari ketua Osis aku melihat selembaran tersebut, aku
termasuk ke dalam keanggotaan perlengkapan selama gebyar ekstrakulikuer dan
festival olahraga. Hatiku menjadi lebih kacau lagi, ternyata klub literatur,
klub drama, dan seluruh klub olahraga termasuk kedalam anggota tim
perlengkapan. Aku kacau karena tahu Asra satu tim perlengkapan denganku.
terlebih, aku sudah menabraknya tadi menjadi lebih runyam lagi.
Kami
semua berkumpul, ruangan perlengkapan khusus untuk olahraga dan seni.
Ruangannya cukup luas untuk menampung kami semua. Memang ruangan ini dirancang
untuk rapat tim perlengkapan setiap tahunnya ketika ada acara seperti ini. Aku
berusaha menjauh dari Asra. Agar Asra tidak menyadari kehadiranku.
Tim
perlengkapan dipimpin oleh Haru ketua klub basket putra. Dia adalah pria yang
sering melakukan percakapan denganku terkait kebutuhan klub basket. Dia pun
membuka acara da berkata, “Selamat Sore kalian semua, di sore hari ini kita
berkumpul untuk membahas perlengkapan apa saja yang akan digunakan untuk
keperluan gebyar ekskul dan festival olahraga. Saya Haru yang merupakan ketua
basket putra akan memimpin tim ini selama sebulan ke depan. Aku ingin kalian
semua membantu dalam masalah ini. Aku yakin kalian semua tahu tugas ini jika
kalian pernah ikut acara ini tahun lalu, kita akan mempersiapkan semua
peralatan yang akan digunakan untuk setiap acara.”
Selagi
Haru membicarakan mengenai kegiatan, tujuan, dan hasil akhir dari tim
perlengkapan. Akuyang berada dibelakan para ketua klub lain melihat Asra berada
di seberang aku berdiri. Aku baru tahu mengapa dia sering sekali dipanggil ikal
oleh teman-temannya padahal rambutnya sama sekali tiak ikal. Ketika ku
perhatikan rambut ikalnya terbentuk karena dia tak pernah menyisir rambutnya
sehingga ketika melihatnya seperti ikal. Aku pun berkata dengan pelan sambil
tertawa kecil, “Lucu sekali rambutnya. Hhhh!”
Seusai
pertemuan tim perlengkapan kami semua pergi keluar ruangan dan tersebar ke
ruangan klub masing-masing dan pulang ke rumah masing-masing.
Kemudian
Shinta dari klub badminton putri mendatangiku dan bertanya, “Luna, bolehkah aku
meminta bantuanmu sebentara?”
“Bantuan
apa?” tanyaku balik kepada Shinta.
“Aku
ingin tahu ID Line mu kemudian kita buat grup Line untuk acara ini.”
“Ah,
Line! ID Line-ku Luna779. Apa fungsinya?”
“Kita
membuat grup Line tahun lalu. Semuanya jadi lebih mudah untuk berkomunikasi
dengan itu, aku ingin kamu menjadi admin di grup tersebut. Apakah kau mau
menjadi adminnya?”
“Oke,
aku tidak masalah. Jadi apa tugasku?”
“Ah,
tugasmu adalah meminta semua ID line di tim perlengkapan. Gampangkan?”
“Oke
baiklah, aku akan bertanggung jawab menjadi admin grup itu.”
“Ah,
termiakasih Luna. Aku jadi terbantu, sekarang aku mau ke seluruh tim untuk
memberi tahu ini. Dah!” ucap Shinta sambil tangannya bersalaman denganku dan
pergi begitu saja.
Line,
aku juga menginginkan nomor Line dari Asra. Seorang lelaki yang menurutku
menarik dan sedang bercanda bersama temannya di ruang koridor. Aku rasa dia
sedang bercanda mengenai PR yang baru saja diberikan. Ahh, aku menginginkan ID
Linenya. Namun, aku malu bertanya hal itu hanya kepadanya.
Pesan
dari Lineku pun berbunyi, aku membuka kunci telepon genggam tertulis pesan dari
kakak perempuanku yang bernama Sunny. Di layar telepon genggam tertulis, ‘Hei
Luna, kau pasti laparkan. Ayah dan ibu mengajak kita makan yakiniku di RFE
Restaurant jadi cepatlah pulang atau kami tinggal.’
Melihat
pesan itu pun, aku kembali bergegas hanya saja lebih berhati-hati dalam
melangkah. Aku pulang ke rumah untuk menikmati yakiniku di RFE Restaurant. Aku
pulang selalu melintasi kebun, sawah, tempat pemancingan, bahkan tempat
pemakaman umum Pondok Ranggon tak luput menjadi area jalan pulang. Sore, kami
selalu saja pulang sore setelah kegiatan klub. Aku merasa kami kerja akan jauh
lebih parah dari ini dengan waktu libur yang jauh lebih sedikit. Menyebalkan,
ya memang sedikit menyebalkan.
“Assalamuaikum!”
ucapku di depan gerbang rumah.
“Walaikumsalam!
Kau sudah pulang, cepat mandi dan ganti baju sana, kita akan makan di luar,”
Ucap Sunny.
“Aku
akan cepat,” ujarku sambil bergegas ke kamar mandi.
“Ayah
cepat matikan TV-nya dan panaskan mobilnya, kita akan berangkat lho!” ucap ibu
setelah selesai menyeterika baju.
“Ya,
baiklah! Kalian juga cepat jangan terlalu lama,” ujar ayah sambil mematikan TV
untuk memanaskan mobil di garasi.
Aku
sangat menantikan makan malam ini setelah kejadian tadi siang. Sungguh memalukan,
sangat memalukan, terlebih yang ku tabrak adalah lelaki yang aku suka dan
sekarang satu kelompok dalam tim perlengkapan. Aku rasa aku malu rasanya. Aku
pun selesai mandi dan kami pun pergi ke RFE Restaurant
Sesampainya
di RFE Restauran, kami sudah memesan meja untuk empat orang. Rasanya
menyenangkan makam malam di luar bersama keluarga. Hanya saja kakakku sungguh
sangat menyebalkan. Kalau boleh aku bilang, Kakakku seperti kecanduan telepon
genggam. Tak pernah lepas dari teleponnya. Hingga aku kesal dan berkata, “Kak,
kau selalu online!”
“Memangnya
kenapa? Jika kau sudah punya pacar juga kau akan mengerti,” ucap kakakku dengan
nada malas.
“Hmm,
Pacar? Anak yang sebelumnya itu?” sambut ayahku karena penasaran dengan pacar
anak perempuannya.
Kami
berdua kompak dan berkata dengan pandangan sinis, “Ayah!”
“Ohh,
maaf,” ucap ayahku.
Ibuku
disampingnya hanya tertawa kecil memandang ayahku.
“Aku
rasa aku mau Yakiniku dengan tambahan mix-grill dan mini ramen,” ucapku.
Mendengar keinginanku dengan cepat kakaku mengingatkanku,
“kau akan jadi gendut lho!”
Aku
sudah tahu kakak pasti akan berceloteh seperti itu jadi aku mengelak dengan
berkata, “Aku ‘kan bermain basket setiap hari tdak seperti kakak yang selalu
berdiam diri di kelas. Bolehkah aku pesan makanan penutup juga.”
“Hah!
Kau pesan terlalu banyak,” komentar kakakku mendengar permintaanku.
“Sudah-dah
tak apa Sunny, biarkanlah adikmu makan yang banyak. Dia ‘kan sudah bekerja
keras untuk klubnya. Terlebih di piala presiden bulan Juli dia menang dan
membuat keluarga kita bangga,” kata ibuku sambil tersenyum.
“Tuhkan
kak, Bagaimana denganmu?” tanya aku sambil membaca pesanan.
“Pasta
salad dan minuman bar tanpa memakan yakinikunya, aku rasa aku cukup dengan itu,”
jawab kakakku yang masih mengotak-atik telepon genggamnya.
Aku
terkejut mendengar kakakku makan sangat sedikit sekali. Aku sedikit teriak,
”itu saja! Kau yakin tidak mau yakinikunya?”
“Iya
itu saja, bisakah kau jaga suaramu itu? Itu mengganggu,” ucap kakakku dengan
santainya.
“Sayang,
kau pesan cocktail dan minuman bar ‘kan?” ucap ibuku.
Aku
mulai bosan dengan percakapan ibu dan ayahu. Mereka pasti akan membahas boros
atau tidak. Kemudian beralih ke anggaran belanja keluarga. Dan akhirnya, mereka
saling marah-marah dengan cara diam-diaman. Sungguh, aku harus menghadapi ini
semua ketika ada acara makan di luar.
Aku
merasa hal itu akan terjadi namun saat ini, perasaanku ada yang tidak enak
terutama setelah aku tadi setengah berteriak. Aku merasa ada yang mengawasiku
entah darimana ada seseorang yang mengawasiku dari kejauhan. Aku menoleh ke
kiri tepat ke kiri, aku melihat seorang pria yang ku tabrak tadi siang. Takdir
apalagi yang menghampiriku? Seolah-olah, dia ada disekelilingku dari mulai
pencarian kelas hingga makan malam. Aku melihatnya sedang menghindari pandangannya
dari seseuatu. Aku tahu betul dia memandangiku dan aku cukup malu dengan itu.
Akhirnya aku hanya tertunduk melihat daftar pesanan. Dalam hatiku bertanya
dengan panik, ‘Ahh! Kenapa aku harus
bertemu Asra di sini?’
“Ingin
pesan bayam goreng, Luna? Zat besi sangat bagus untukmu,” tanya ibuku yang sedang menulis pesanan.
Kakakku
yang menyadari hal aneh setelah melihatku tertunduk malu setelah melihat ke
arahnya, menjadi penasaran dan ia juga menoleh ke kiri. Ia pun tak luput
berkomentar mengenai pertanyaannya itu dan berkata, “Kalian terlalu banyak
memesan.”
“Tidk
apa-apa Sunny, Luna pasti akan memakannya. Benar ‘kan?” sambar ayahku terhadap
komentar dari Sunny.
“Lagi
pula, Luna ini akan menghadapi turnamen terakhir piala presiden tingkat
nasional setelah festival olahraga. Jadi kau harus makan makanan yang
menyehatkan,” ucap ibuku.
“Hentikan!”
ucapku dengan rasa malu yang mendalam terlebih Asra mendengar percakapan
keluarga kami. Aku jadi sangat malu.
Kakakku
paham dengan kondisiku sekarang, kondisi orang sedang jatuh cinta. Dia hanya
bisa tersenyum sinis. Dia pun berkata sambil mencubit pipiku, “Oh? Ada apa
Luna? Hei, Tembem! Kau takut pria pujaanmu mendengar hal ini ya. Hahahahh!”
Aku
yang tak mau dicupit menyingkirkan tangannya. Kemudian aku berkata dengan nada
jengkel, “Ahh, Kak minggir! Aku akan pergi ambil minuman.”
Aku
sangat kesal dengan kakakku, bagaimana jika Asra mendengar perkataannya.
Bagaimana jika Asra tahu gara-gara kakak yang menyebalkan semua menjadi rumit
dan mengesalkan karena kakakku. Aku harap kakakku tidak menambah buruknya hari
ini.
Namun
sangat disayangkan karena kelakuan kakakku, kini aku harus bertemu dengan Asra
di bar minuman. Aku sungguh malu sekali hari ini setelah yang terjadi dengannya
disiang hari dan kini kita harus bertemu di restoran. Aku sangat ingin munman
manis Franta dimana Asra ada ditempat itu. Aku pun mengambil gelas dan berdiri
di belakangnya. Entah karena apa, Asra tidak memencet tombol minuman bar
tersebut melainkan, dia pindahkan gelas terebut ke minuman bar yang berisi
minuman kopi. Dengan gagahnya, aku melihat dia memilih kopi espreso. Kopi pahit
yang biasanya hanya diminum oleh lelaki dewasa. Dengan malu aku kembali ke
minuman bar berisi softdrinks.
Kemudian
terdengar teriakkan ibuku, “Luna, bisakah kau ambilkan untuk kita juga? Tolong
yang biasanya!”
“Tolong
Frenta melon untuk papah!” seru ayahku.
Aku
melihat dirinya mengahadap ke arahku dengan wajah merah mudah. Rasanya dia
sangat gugup dan malu, sama seperti yang ku rasakan. Terlebih banyak kejadian
yang menimpa kita berdua. Dia hanya menganggukan kepalanya dengan wajah datar
dan pergi begitu saja.
Kakakku
yang iseng datang kepadaku dan bertanya dengan nada usil, “Luna, kau bisa
membawa semuanya? Kau kenal dia? Rasanya ada sesuatu kau dengannya?”
Dengan
rasa malu dan tanpa sadar aku menjawab, “Dia adalah teman sekelasku dan tadi
siang saat mau ada rapat aku tak sengaja menabrak dia. Rasanya sekarang aku
malu.”
“Oh!”
Minuman
ayah dan ibu sudah tersedia semua. Kakakku langsung membawa minuman ringan milik
ibuku dan ayahku ke meja makan. Kemudian aku sendiri masih menuangkan minuman
ringan kakakku dan aku sendiri. Aku mendapat ada firasat tidak enak jika
kakakku membawa minuman tersebut. Aku yakin ada hal aneh yang dilakukan oleh
kakakku.
“ini
dia, minuman ayah dan minuman ibu. Sudah sampai di meja kalian,” ucap kakakku
dengan nada riang.
“ahh,
terima kasih Sunny,” kata ibuku
Kakakku
berbisik dengan nada usil kepada ibuku, “Hei, ibu coba degarkan ini!”
Setelah
kakakku berbisik ditelinganya ibuku terkejut, dan berkata, “Hah, benarkah!”
Kakakku
tersenyum dan mengangguk tanda bahwa itu benar.
Ketika
aku hendak membawakan minumanku dan minuman kakakku aku terkejut, ibuku sedang
bersama keluarga Asra. Kakakku pasti mengatakan apa yang tadi tidak sadar aku
katakan kepadanya. Semuanya jadi rumit dan aku menjadi sangat malu. Ibuku
berkata kepada ibu Asra, “Maafkan anakku yang telah menabrak putra anda sewaktu
di sekolah. Ku dengar anakku Luna, sekelas dengan putra anda. Jadi aku mohon
maaf atas kesalahannya.”
“Oh
benarkah, maafkan putra saya juga. Boleh jadi putri anda menabrak karena putra
saya meleng karena terlalu sibuk membaca. Maafkan putra saya juga, Asra tidak
berkata soal tersebut karena sering kali dia tidak memedulikan sekitar. Namun
sekarang, aku sangat senang bertemu denganmu ibunya Luna, aku ibu dari Asra
Qomar,” ucap ibu Asra dengan penuh penghormatan.
Ayahku
dari mejanya juga menyapa keluarga Asra sambil mengangkat cangkirnya seperti
gerakkan bersulang, “Oh, Halo. Senang bertemu dengan anda.”
“Oh,
Halo juga,” balas ayah Asra dari mejanya.
Aku
yakin, muka Asra akan bertambah merah setelah kejadian ini karena aku sangat
malu sampai ingin bunuh diri. Aku sangat malu perkenalan yang tak terduga
dengan keluarga Asra. Kakakku Sunny, hanya menahan tawa di mejanya. Dia merasa
sangat teribur dengan kejadian ini.
Setelah
kejadian yang memalukan bagi diriku, akhirnya pesenanan kami sampai di meja
kami. Kakakku yang sejak tadi menahan tawanya akhirnya lepas dengan perkataan,
“Wow, makanan ini rasanya enak! Sungguhan lho! Hahahhah!”
“Memangnya
kenapa Sunny, kau tertawa seperti itu. Cepat makanlah!” ucap ibuku yang
keheranan.
Aku
malu makan bersama kakakku Sunny ini, apalagi kejadian yang menimpaku hari ini
rasanya aku menjadi malu. Jangankan untuk meminta ID Line kepada Asra,
berbicara pun aku sudah malu kepadanya. Ini semua karena kakakku yang bodoh.
Menyebalkan!
Aku
sungguh sangat kesulitan untuk makan apalagi konsentrasiku buya akibat kejadian
ini. Malu rasanya jika merentetkan kejadian yang terjadi hari hari ini. Ku
harap dia melupakan kejadian hari ini.
Setelah
keluargakuku selesai makan malam, kami pun membayar makanan tersebut di kasir.
Secara kebetulan pula, keluarga Asra juga pergi untuk membayar makanan
tersebut. Di sela-sela seperti itu, keluarga kami berpamitan dan berkata, “Kami
permisi dulu. Senng bertemu dengan kalian.”
Keluarga
Asra juga berpamitan dengan tersenyum dan menganggukan kepala.
Sedangkan
aku, aku masih memiliki tugas untuk mengumpulkan seluruh ID Line dari tim
perlengkapan pun merasa bingung setelah kejadian hari ini. Padahal tugasku akan
selesai, jika aku tahu Id LINE dari Asra. Tnpa sadar aku bergumam, “Aku sangat
gugup, aku ingin meremas squishyku.”
Dengan
penuh keberanian,a ku membalikkan tubuhku dan menghadap Asra. Aku berjalan
mendekatinya dengan wajah yang tertunduk. Aku ingin bertanya dan meminta Id
Line namun saat itu hatiku sangat kacau. Asra pun terkejut melihat aku berjalan
mendekatiku. Wajahnya memerah sama saat dia memilih minuman ringan menjadi kopi
espreso pahit.
Dia
melihat wajahku, Asra berusaha menenangkan diri. Dia sepertinya mengerti aku
ingin mengatakan sesuatu. Kemudian dia tenang dan aku memberanikan diri untuk
berbicara yang ada dipikiranku, “Anu, tolong jangan beri tahu siapapun di
sekolah tentang kita dan pertemuan kita hari ini! Jujur, ini semua kejadian
yang memalukan.”
Dia
pun membalasknya dengan satu kata singkat sambil menganggukan kepalanya, “
Oke.”
“terima
kasih,” aku pun membalikkan badan ku dan meninggalkannya menuju ke keluargaku.
Ketika aku ada di mobil dan ayahku mulai mengemudikan mobil, di situ saya baru
ingat bahwa aku lupa meminta ID Line untuk kegiatan besok. Ku harap dia datang
tanpa tahu informasi dari grup Line. Agar aku tidak lupa, aku membuat grup Line
buat Tim perlengkapan saat itu juga meskipun aku belum mendapatkan ID Line dari
Asra. Saat ku tanya pada teman-teman mereka juga tidak ada yang tahu ID Line
miliknya karena dia termasuk pria peneyndiri. Aku menginginkan ID Linenya.
Pagi
ini aku terbangun dengan rasa penyesalan yang cukup banyak. Bagaimana tidak,
aku sudah menabrak orang yang kusuka. Kemudian orang yang kusuka itu berada
dalam satu tim kepanitiaan. Lalu hal yang lebih parah, keluargaku dan
keluarganya bertemu bagaaikan acara tunangan keluarga di suatu restoran. Rasa
malu itu membludak dalam diriku.
Pagi
ini aku merasa tidak semangat dan ku paksakan untuk berangkat ke sekolah. Aku
hanya berjalan murung menuju ruangan kelas. Ketika aku berjalan masuk ke ruang
kelas ternyata aku berpapasan dengan Asra. Dengan rasa malu, aku mengacuhkannya
seperti tidak ada kejadian apapu. Timbullah rasa bersalah di dalam diriku. Aku
lupa bahwa aku menginginkan ID Line untuk berkert=ja di alam tim perlengkapan.
Bodohnya aku melewatkan hal itu.
Pelajaran
berjalan seperti biasa tak ada hal yang menggangguku selai Asra. Dia seperti
hantu dikepalaku. Meskipun aku bisa konsentrasi belajar namun, Asra masih tetap
terngiang dikepalaku sehingga aku sulit untuk melupakannya.
Pada
waktu istirahat, kami bercanda, bersendagurau, dan mengobrol bersama-sama.
Kebetulan kami sedang membicarakan mengenai ID Line. Banyak diantara kami yang
merahasiakan ID Line kami. Begitu pula dengan bagi Asra, dia diam dan tak mau
memberikan ID Linenya. Jangankan mengobrol, sudah mengeluarkan sepatah dua kata
itu pun sudah bagus, baginya istirahat adalah waktu luang untuk dirinya membaca
sebuah novel atau light novel dikala pelajaran sekolah usai. Aku ingin sekali
mengobrol dengannya namun dia sedang asik dengan bahan bacaannya. Lagipula
dengan kejadian kemarin, aku akan lebih sulit bekomunikasi dengannya.
Aku
harus melupakan kejadian kemarin dan berusaha mengetahui ID Line dari Asra.
Bagaimanapun juga, Asra harus mendapatkan informasi mengenai kegiatan tim
perlengkapan.
Namun
itu semua hanya wacana dariku, aku justru mematung diam melihatnya tanpa
mengatakan apapun. Sedangkan Asra, dia asik membaca buku sambil mendengarkan
musik lewat headset miliknya. Aku cukup sungkan berbicara dengannya. Malu,
tentu saja malu. Ketika aku mau menyapanya, dia sadar dan menatapku dengan malu
dan aku tambah mematung dihadapannya.
Hingga
akhirnya teman sebangku memanggilku dan bertanya, “Luna, kau mau ke kamar kecil
denganku?”
“Oke,”
jawabku sambil berjalan ke arahnya. Aku mau mati berhadapan dngan Asra. Aku tak
tahu harus apa lagi. Namun hanya inilah usahaku untuk mendapatkan ID Line
miliknya.
Setelah
pulang sekolah, kami mendapatkan pesan dari Haru untuk berkumpul mengenai
kegiatan tim perlengkapan untuk lusa depan. Kami mempersiapkan perlengkapan
untuk acara gebyar ekstrakulikuler. Sebagai tim perlengkapan, kami harus
meyiapkan perlengkapan yang digunakan oleh klub dan acara selengkap-lengkapnya.
Kami sangat sibuk dibuatnya. Bayak pekerjaan yang menanti kami.
Semua
ketua tim hadir kecuali satu orang ketua dari klub literatur, Asra tidak ada.
Akumencari-cari deseluruh ruangan sambil berkeliling membantu ketua lain
menyiapkan perlengkapan. Namun, Asra tak juga menampakkan batang hidungnya ini
salahku, aku tidak memberitahunya atau pun meminta ID Linenya agar bisa
kuhubungi. Namun nasi sudah jadi bubur sehingga bubur tak bisa beubah menjadi
nasi. Aku bingung karena kesalahanku sebab jika dia tidak datang hari ini maka
para guru akan memberinya waktu sendiri untuk mempersiapkannya sedangkan dia
tidak datang adalah kesalahanku. Ku harap besok tidak terjadi hal yang seperti
ini.
Keesokan harinya setelah pulang sekolah, aku
selal menjauhi Asra karena kesalahan yang aku buat juga untuk mengumpulkan
keberanian. Aku merasa bersalah tempo hari dia tidak masuk grup Line dan dia
sendiri yang tidak hadir.
Benar
saja, Asra diadang oleh Haru dan mereka berdua sedang membahas mengenai
ketidakhadiran Asra kemarin. Aku yang berada di tangga mendengar jlas
percakapan mereka. Haru berkata serius keada Asra, “Asra, kau tidak datang
dalam dipertemuan tim perlengkapan.“
“Maafkan
aku,” ucap Asra dengan rasa bersalah.
“Semua
orang melakukan tugas mereka, aku akan membuatmu melakukan tugas itu juga,”
ujar Haru sambil menyilangkan tangannya.
“Baiklah.”
Pasrah Asra.
“Sekarang,
kau siapkanlah beberapa perlengkapan untuk acara beso. Kau harus menyeting
beberapa suara yang akan digunakan dipanggung. Kemudian siapkanbeberapa
perlengkapan untuk anak klub drum band di aula utama. Sekarang kerjakan!
Seharusnya kau membaca pesan di Line!” Seru Haru sambil pergi meninggalkan Asra
di depan rak sepatu.
Mendengar
kata Line, aku baru ingat hanya Asra yang belum masuk ke grup itu. Hingga aku
terkejut dan berkata, “Ahh, Line!”
Asra
yang mendengarkan perintah dari Haru, dia langsung pergi ke ruang
penyimpanandan menyiapkan peralatan yang digunakan. Aku yang tadi menguping di
dekat tangga berlari kcil mengikuti Asra. Aku merasa bersalah dengan semua
kejadian ini. Aku harus bertanggung jawab dengan membantunya.
Aku
ragu untuk masuk ke ruang penyimpanan yang terbuka lebar. Aku ragu karena aku malu
sekali atas kejadian kemarin lusa dan kejadian kemarin karena aku lupa
menghubunginya. Akhirnya, aku melupakan itu semua dan memberanikan diri untuk
mengintip Asra dari luar ruangan. Dia sedang menyiapkan beberapa alat yang
belum disiapkan kemarin. Dia memasukkan alat-alat drum band ke dalam troli
besar yang dia bawa. Tidak luput dia mengangkat sound system khusus untuk acara
besok di aula utama.
Aku
sungguh takjub dengan Asra, dia mampu bekerja sendirian meskipun itu adalah
kesalahanku. Sambil meremas-remas squishy favoritku, aku memberanikan diri
untuk mendekati dirinya. Kemudian, aku pun berjalan mengendap-endap
dibelakangnya. Dia tak sadar akan kehadiranku. Kemudian aku berkata, “Anu.”
“Hah,
bikin kaget saja ku kira siapa,” ucapnya dengan wajah ketakutan. Namun setelah
melihat wajahku, tiba-tiba wajah ketakutannya berubah menjadi waja memerah
muda.
Aku
pun kembali mmberanikan diri untuk berkata kepadanya, “Maafkan aku, aku lupa
untuk menghubungimu.”
“Hah?”
ucapnya dengan nada bertanya-tanya.
“Ada
daftar kontak Line untuk tim perlengkapan,” terusku dengan nada penyesalan
teramat pedih.
“Oh,”
ucapnya.
Setelah
kalimat penyesalan disinalah dimulai rasa takutku memuncak. Puncak dari
permasalahan selama ini. Puncak dimana aku bisa mengenal jauh dirinya. Puncak
seorang wanita dalam meraih filosofi feminisme sejati. Meminta ID Line kepada
seorang wanita.
Butuh
latihan yang cukup dalam untuk seorang wanita meminta ID Line seorang pria dan
rasa malu tersebut berpuncak setelah kejadian yang ada. Untuk tugas mulia ini
aku memutuskan urat malu dan masuk golongan feminisme sejati. Aku pun bertanya
dengan perasaan malu, “Tolong, bisakah kau memberi tahuku ID Line mu?”
Asra
terkejut bukan main setelah mendengar hal ini. Boleh jadi, ini adalah hal
pertama Asra mendengar ada seorang wanita yang meminta ID Line kepada seorang
pria. Kemudian dia hanya bisa berucap, “Heeee!”
“Akulah
yang membuat grup Line untuk kelompok perlengkapan dan hanya dirimu saja yang
belum terdaftar di ponselku,” ucapku sambil menahan rasa malu dengan wajah yang
cukup merah.
“Oh,
ho.” Ucapnya.
“Uhm,”
ucapku sambil mengangguk.
“Prtama,
aku seharusnya minta maaf kepadamu telah membuatmu malu seperti ini. Aku
seharusnya sadar saat kita bertemu ke restoran dan berbicara padaku, kau
memiliki maksud tertentu namun sayang aku tidak terlalu peka masalah lelaki
harus berkata lebih dahulu untuk meminta sebuah ID Line. Namun untuk hari ini,
aku juga minta maaf. Aku tidak membawa ponsel ku sehingga aku tidak bisa
memberitahu ID Line ku, ” ucap Asra dengan wajah datar.
“Uh,
Kalu begitu. Hmmmm,” ucaap ku sambi mencari kertas untuk ditulis. Kemudian aku
menulis ID Line ku. Kemudian aku berkata sambil menyodorkan secarik kertas,
“Ini milikku.”
Asra
mengambil secarik kertas itu dan berkata, “Baiklah.”
Aku
merasa lega hingga aku menghela napas lega di depan Asra. Aku sdar, Asra
memperhatikanku. Kemudian dengan refleks aku berkata, “aku akan membantu.”
Mendengar
perkataanku, Asra hanya tersenyum dan aku melihat senyumannya untuk
pertamakali. Dia tersenyum sambil berkata, “Aku rasa tidak perlu.”
“Tapi
aku merasa tidak enak,” ucapku.
“Tapi
bagaimana kegiatan klubmu?”
“Aku
akan menghubungi mereka. Jika kita mengerjakan tugas ini bersama aku rasa akan
lebih cepat selesai,” ucapku sambil tersenyum.
“Hmmm,
baiklah,” ucapnya sambil tersenyum.
Kami
beruda akhirnya mempersiapkan peralatan yang yang akan digunakan pada acara
besok. Saat Asra membawa beberapa peralatan yang di dorong dengan troli, aku
melihat bajunya kotor penuh dengan debu. Dengan refleks aku berkata, “ada debu
dipakaianmu.”
“Benarkah,”
kejut Asra.
Dipunggungmu,”
kataku smbil menepuk punggung dancela bagian belakang Asra.
“Uh-oh,”
gumam Sena yang wajahnya tersipu malu karena prilaku dari ku.
“Sudah
lebih baik,” ucapku sambil tersnyum lega.
“Hmm,
baik,” ucap Asra sambil tersipu.
Kami
pun menyiapkan semuanya untuk persiapan besok di aula utama. Aku rasa ini
adalah kenangan terbaikku bersama Asra setelah apa yang terjadi lusa kemarin.
Ku harap aku bisa berbicara bersama di Line. Aku juga sangat berharap bisa
mengenalnya lebih jauh.
Waktu
sudah sore, jam pulang pun sudah berbunyi. Aku yang berpamitan dengan Asra
kembali berkata, “Sekali lagi, maafkan aku Asra. Karena aku kau harus bekerja
hingga sore seperti ini.”
“Tidak
apa-apa,”
“Dah,”
ucapku sambil tersenyum dan berlari karena rasa maluku bisa berduaan bersama
Asra.
Setelah
kami saling tukar ID Line, aku memasukkannya ke dalam grup Line tim
perlengkapan. Kalimat pertama dalam chat kami adalah, mohon kerja samanya.
Akhirnya kami berdua pun sering menghubungi lewat pesan teks Line. Tidak hanya
mengenai tim perlengkapan tetapi juga mberhubungan mengenai tugas sekolah dan
lain-lain. Bahan, kelakuanku hampi sama seperti yang dilakukan kakakku di
restoran dulu. Sungguh malu aku, dikira aku sedang emnghubungi pacarku lewat Line.
Tetapi sudahlah setidaknya aku mendapatkan ID Line dari Asra dan kami
berhubungan hingga sekarang.